Di masa depan, Tio akan mengulang-ulang terus pengalaman masa lalu
seperti pada tengah hari yang nahas itu. Setelah gagal mendapatkan
angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah, ia terdampar di
sebuah mulut gang di pusat pertokoan dan perkantoran. Seorang anak
lelaki dengan kaca mata hitam ditegakkan di kepala, menghampiri dengan
tatapan curiga. Si anak mengenakan rompi kulit berwarna coklat longgar,
membungkus belakang tubuhnya sampai ke pantat; kaus kuning melebihi
ukuran badan sampai ke lutut; celana jins kepanjangan, hingga bagian
kakinya digulung berkali-kali; dan sepatu kets putih yang juga
kebesaran, hingga ia menyeret kedua kakinya agar sepatu itu tidak
terlepas.
Anak itu, dengan dua arloji di tangan kanan dan dua arloji di tangan
kiri, mengeluarkan sebungkus coklat besar dari kantung rompi, merobek
bungkusnya, lalu mengunyah dengan lahap, seraya menoleh ke arah
keramaian yang bergemuruh di jalan besar pertokoan dan perkantoran yang
tak jauh dari mulut gang itu.
Huru-hara masih berlangsung. Orang-orang bergerombol
berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap, membuka paksa pintu-pintu
dorong dan jeruji toko-toko dengan tangan, linggis, dan berbagai
peralatan yang terjangkau dan dipungut sekenanya di jalan atau sengaja
dibawa dari rumah. Lalu, setelah toko-toko yang ditinggalkan para
penghuninya dengan ketakutan itu terbuka menganga tanpa tuan, para
penyerbu saling berebutan menjarah berbagai barang yang terhampar atau
teronggok di hadapan, menyeretnya menjauh, mengangkatnya dengan kedua
tangan, mengusungnya di pundak, langsung memasukkan ke dalam kantung
plastik atau buntalan kain, membopongnya meninggalkan toko dengan
tergesa, serabutan, namun bersiaga terhadap kemungkinan perampasan oleh
yang lain; lalu berlari-lari, meliuk-liuk mengamankan barang-barang itu,
di antara orang-orang berseliweran dengan keperluan serupa.
Maka, bergulung-gulung karpet, pakaian, benang; berkardus-kardus
sepatu, rokok, kosmetik, minyak wangi, kalkulator, radio, taperecorder,
kaset, CD, termos; berbuntal-buntal arloji, topi, buku, blangkon, tas;
berbungkus-bungkus bumbu masak, keripik udang, permen, coklat, keju, kue
bolu, beras, kopi, gula, mie instan, roti kaleng, kecap, sirup, panci;
simpang-siur dalam bawaan orang-orang yang dengan sigap ingin
cepat-cepat menyembunyikan di pangkalan sementara, atau langsung menuju
rumah bila rumah mereka tak jauh dari areal pertokoan tersebut. Lalu,
mereka akan kembali lagi ke toko-toko atau perkantoran untuk mengambil
barang-barang apa saja yang masih ada dan tersisa, sebelum didahului
atau dihabiskan orang lain. Toko-toko dan perkantoran di pinggir jalan
besar itu semuanya kini menjadi milik siapa saja, bebas dimasuki,
dijarah, dan juga dibakar!
Keributan suara-suara meneriakkan: "Hey, Min!", "Tigor!", "Asep!",
"Gus!", "Jo!", "Bur!", "Ke sini!", "Bawa sekalian!", "Simpan di belakang
kios!", "TV, TV!", "Kulkas", "Bir, bir!", "Wah, BH, celana dalam,
sambal, kecap!", "Taruh, taruh langsung di kamar!", "Yang di plastik di
dapur, yang di kardus di kamar!", "Jangan salah tempat!", "Hati-hati!",
"Jangan diambil orang!", "Ingat, harus segera ke rumah!", "Langsung
kasikan ibu!", dan lain-lain, tumpang-tindih di sekitar, berlomba
menyerbu pendengaran dan penglihatan Tio. Sementara anak itu
menghabiskan coklatnya dengan tergesa, mulutnya belepotan coklat,
sementara sepasang matanya secara samar mengawasi Tio, seraya ia kini
mengeluarkan permen dari saku celana. Sedangkan suara-suara masih
membahana, saling tindih, dan kali ini lebih bergelombang ke sebelah
kiri mulut gang dan di seberang jalan.
Suara-suara yang memekakkan Tio, di tengah kesendirian perasaan yang
semakin menyesaki benaknya, di antara bayang-bayang pengalaman
sebelumnya yang kembali membentang. Ia sedang dalam perjalanan menuju
kampusnya di wilayah barat kota, ketika demonstrasi dan kekacauan
semakin marak di jalan yang mereka lalui. Tio terpaksa turun dari bus
kota yang ditumpanginya, karena sesuai permintaan sebagian besar
penumpang yang umumnya orang kantoran, bus kota itu membatalkan
perjalanan dan kembali ke terminal pemberangkatan mereka sejam yang
lalu. Hidup sebagai penonton, yang sepatutnya tidak dirugikan,
barangkali sangat penting bagi orang-orang kantoran itu. Mereka harus
melindungi anak dan istri yang ditinggalkan di rumah, atau menyelamatkan
hidup mapan mereka dengan menghindarkan kemungkinan bencana apa pun
yang kelihatannya bisa menyerang, dari membesarnya huru-hara yang
menimpa kota itu!
Sebenarnya, beberapa penumpang sebelumnya telah turun dan pindah ke
bus-bus lain yang sudah memutar sejak awal, dan beberapa penumpang
terbirit-birit menyewa ojek yang tiba-tiba ramai berkeliaran mengepung
bus. Sementara Tio enggan menyelamatkan diri, karena merasa tidak layak
setakut mereka. Sebab, ia "terlibat" sebagai pelaku atau bagian dari
demonstrasi dan kerusuhan di luar bus kota itu. Mengikuti gelombang
perlawanan mahasiswa kepada rezim pemerintahan korup selama
berminggu-minggu, mereka telah melakukan demonstrasi gabungan dengan
kampus-kampus lain yang lebih besar dan terkenal di seluruh negeri. Dan,
puncaknya, dalam suasana perkabungan, kemarin mereka mengantarkan lima
orang mahasiswa ke pemakaman karena tertembak bersama rekan-rekan
lainnya di dekat kampus mereka sehari sebelumnya.
Tapi, pagi itu, rasa getir dan sinis kepada diri sendiri pun
menggigit-gigit kesadaran Tio ketika ditinggalkan sendirian oleh
orang-orang kantoran yang ketakutan meneruskan perjalanan. Tio tiba-tiba
merasa memang tidak memiliki kehidupan berharga yang harus diselamatkan
dari kekacauan itu. Ia hanyalah seorang mahasiswa yang tidak memiliki
keperluan penting, datang ke pusat kota; kecuali berkumpul dengan
teman-teman sekampus "mendengarkan" lanjutan rencana demonstrasi
gabungan seluruh kampus kota mereka. Ia hanyalah seorang mahasiswa
"pengikut" dengan kecerdasan terbatas, di sebuah perguruan tinggi swasta
yang tidak terkenal.
"Jangan sembunyi di sini!" Anak itu akhirnya menegur bimbang, ketika menyadari Tio yang jangkung itu masih bertahan dan bengong.
Tio mengitarkan pandang. Mereka "ternyata" berada di belakang sebuah
kios, dan ia melihat berbagai bungkusan dan buntalan-buntalan barang di
samping kakinya. Tio membungkuk dan meraba sebuah buntalan. Tio menarik
sebuah benda dingin dan keras dari mulut buntalan; sebuah walkman
menyembul. Dengan wajah khawatir, anak itu merebut walkman dari pegangan
Tio dan memasukkannya ke dalam buntalan.
Tio merunduk. Matahari siang menyorot tajam. Tak jauh dari kios itu,
di jalan besar, menggunduk timbunan sampah yang kelihatannya dibiarkan
menumpuk dari hari ke hari. Bau sengitnya menyebar tapi orang-orang tak
perduli dan kelihatan tidak terganggu. Mereka terus berseliweran di
jalan besar membawa barang-barang dengan buntalan-buntalan penuh,
kardus-kardus rapi, tas plastik dijejali barang, keluar masuk gang di
sini dan di sana, memanggil-manggil, berteriak-teriak, simpang-siur di
antara suara-suara "tembakan" yang sesekali terdengar menyela gemuruh
siang.
Lalu, seorang lelaki berusia empat puluhan, mengenakan
berlapis-lapis baju baru dan sebuah jaket kulit hitam, memundak buntalan
besar dengan wajah berkeringat menghampiri persembunyian Tio dan si
anak di belakang kios itu. Lelaki itu terkejut menemukan Tio, dan tampak
kurang senang karena anak itu membiarkan seorang asing berada di dekat
barang-barang mereka. Lelaki itu menaruh buntalan di samping bungkusan
lainnya. "Siapa kamu? Mau apa di sini?" tanyanya mengancam ke arah Tio.
Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok luar negeri dari saku jaket
kulitnya yang tebal dan baru, mengeluarkan mancis keemasan dari saku
celana jinsnya yang baru, dan seperti sengaja memamerkan arlojinya,
kalung emasnya, sepatu kulitnya, berdiri tegak menyalakan rokok,
mengisapnya, menghembuskan asapnya ke arah Tio.
"Saya...saya..."
"Takut terkena peluru nyasar, ya?"
"Saya mau pulang, kalau sudah aman."
"Tapi kenapa berhenti di sini?"
"Sepedanya mana, Yah?" anak itu menyela.
"Sepedanya mudah-mudahan ayah kebagian!" kata lelaki itu seraya matanya tetap ke arah Tio.
"Om dapat mempercayai saya. Saya akan menjaga barang-barang Om. Tadi
saya mau ke kampus ketika bus yang saya tumpangi membatalkan
perjalanan. Seandainya tadi malam saya tidak pulang ke rumah, tidur di
kampus seperti yang lain, pasti sekarang saya tidak di sini, mungkin
berdemonstrasi bersama teman-teman ke istana!"
"Oh, begitu?" Lelaki itu kembali menghembuskan asap rokok ke wajah
Tio. Lalu seperti teringat sesuatu, ia mengeluarkan selampe baru dari
saku celananya, kemudian melap keringat di keningnya, dan kembali
memandang Tio yang mengenakan kaus, jins, dan sepatu kets yang sudah
kucel.
"Percayalah, saya akan menjaga barang-barang Om bersama anak Om," ulang Tio
"Ya sudah. Kalian tunggu di sini!" Lelaki empat puluhan itu
lagi-lagi menatap tajam ke arah Tio, mengantungi selampe, segera
mengambil beberapa arloji mahal dari sebuah buntalan, beberapa bungkus
rokok luar negeri dari sebuah kardus besar, menjejalkan semuanya ke saku
celana, baju dan jaketnya dengan terburu-buru, lalu mengisyaratkan
kedipan mata "hati-hati" ke arah anaknya, baru kemudian menghilang di
antara orang ramai.
Sepeninggal lelaki itu, Tio sesaat tersinggung oleh kedipan mata
itu, dan sempat dihinggapi keinginan culas untuk mengambil beberapa
walkman dan arloji, lalu berlari meninggalkan tempat itu, menerobos
keramaian, mencari-cari kendaraan umum yang rutenya ke arah rumahnya di
pinggir kota. Tapi lamat-lamat telinganya masih mendengar suara tembakan
demi tembakan di antara hiruk-pikuk itu. Membuatnya kembali merisaukan
keselamatannya di antara tiang-tiang asap kebakaran yang menghitam,
membubung, meliuk, di sini, di sana, di kejauhan --seakan mengabarkan
bencana ke ketinggian awan putih di atas sana-- sekaligus mengotori
cakrawala bening kota besar, yang dulu terkenal ramah itu.
Lalu, suara tembakan demi tembakan meletus nyaring, tak jauh dari
mulut gang. Orang-orang buyar ke kiri dan ke kanan, berteriak-teriak
panik menggondol erat buntalan dan bungkusan di tangan dan di pundak.
Dan tembakan meletus lagi, meletus lagi, kali ini berturut-turut,
semakin nyaring, semakin memekakkan pendengaran Tio. Orang-orang
berteriak-teriak kalap, orang-orang simpang-siur menyelamatkan diri.
Saling menabrak dan mendorong, ingin melarikan diri atau bersembunyi.
Yang limbung terjepit, terseret, yang jatuh tertindih, terinjak. "Aduh,
aduh, aduukhh!" jeritan anak itu mengoyak pendengaran Tio, dan ia
menampak anak itu memuntahkan permen dari mulutnya dan kaca mata
hitamnya terlontar dari kepala.
Sesaat anak itu seakan lunglai kehilangan tenaga, tapi secara aneh
dan berkekuatan besar, terhempas ke tubuh Tio. Sebuah hentakan berat
menghantam Tio. Kepala anak itu membentur perutnya. Keduanya kemudian
terlontar ke atas tumpukan kardus, buntalan dan bungkusan. Beberapa
buntalan dan bungkusan yang tidak terikat kencang, terbuka, dan isinya
berupa walkman, arloji, gulungan kain, baterai, gunting, coklat, pisau
cukur, minyak wangi, kecap, sambal, detergen, dan barang lainnya
berserakan. Tio merasakan punggungnya sakit, menindih berbagai botol dan
barang-barang keras terbungkus kardus, dengan tubuh anak itu
membebaninya.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Tio pun melihat wajah seorang
anak seusia adiknya, namun begitu asing baginya --sesaat begitu dekat--
lalu menjauh dan terkulai di samping tubuhnya. Lalu, ketika ia menarik
tangannya dari tindihan tubuh anak itu, untuk pertama kalinya pula ia
melihat darah manusia begitu kental, memerah hangat di telapak
tangannya, membercak membasahi kausnya, dan membercak bundar merah tua,
memenuhi bagian dada kaus anak itu.
Darah. Darah merah berceceran. Anak itu tertembak. Anak itu
tergeletak. Peluru nyasar menjarahnya. Sementara ayah anak itu entah ke
mana. Anak itu mendesis ketakutan dan mengerang kesakitan. Mulut anak
itu kini penuh darah, darah. Tatapannya nanar ke arah Tio yang sedang
bangkit, dan menoleh gelisah ke arah barang-barang jagaannya yang kini
berserakan. Anak itu mengangkat tangan kanannya yang lunglai, diberati
empat arloji; entah kapan ia menambahinya. Anak itu berusaha menggapai
sebungkus coklat, tapi Tio tak dapat lagi menatap berlama-lama.
Tio sudah berdiri gelisah. Hiruk-pikuk manusia di sekitar semakin
ramai dan sebagian kini berkerumun menghampiri. Wajah-wajah asing penuh
keringat memandang kalap dan ingin tahu, berganti-ganti dengan
bayang-bayang wajah ibunya, adik-adiknya, temannya sekampus,
tetangganya, anak itu, ayah anak itu, orang-orang berebutan barang,
rokok luar negeri, sepatu kulit, jaket hitam, mancis baru, walkman,
arloji, gulungan kain, kaca mata hitam, permen, coklat, botol kecap,
bir, sirup, bumbu masak, bus kota yang kabur menghindari penumpang,
orang-orang berlarian, suara-suara tembakan --semuanya berdenyar dan
mengabur di depan, di samping, di belakang-- berupa cahaya
menyala-nyala, sinar menyambar-nyambar, dan suara hingar-bingar
menggelapi dan menggedori kesadaran Tio.
Orang-orang masih berkelebat-kelebat, sementara Tio kemudian
memaksakan diri untuk berlari, berlari, terus berlari ke arah tepi
keriuhan dan keramaian di sekitar. Tapi tepi keramaian dan keriuhan itu
tak juga tampak. Ia masih saja terhadang oleh keramaian dan keriuhan,
orang-orang berseliweran, suara-suara tembakan, teriakan-teriakan kalap,
dan bau asap, bau asap, bau daging terbakar, bau daging terbakar. Dan
langkahnya kemudian semakin berat dan melambat, berat dan melambat,
meskipun ia telah berlari menggunakan segenap kemauan dan tenaganya.
Tak tahan lagi, tubuhnya kini limbung dikuyupi keringat dan darah,
wajahnya kotor disaput debu tengah hari, dan perasaannya rusuh dilanda
cemas mengerikan, ketika rasa perih akibat luka menganga di bagian
perutnya --semakin nyata dan menyakitkan. Di masa depan, bila ia masih
dapat mengulang-ulang peristiwa nahas pada siang mengesalkan itu,
sungguh tak ada tempat terjauh baginya saat itu, kecuali rumah!***